SINOPSIS ASHOKA ANTV
Akhirnya Ashoka, Raja Chandragupta Maurya
telah membangun Kerajaan Magadh yang sangat besar dan membuatnya
makmur. Setelah turun tahta, saat itulah Bindusara menjadi raja, dan
musuhpun
menjadi tidak sabar untuk menancapkan kekuasaan mereka di Magadh”. Kobaran api dan pertempuran diperbatasan kerajaan.
Narasi, “Setelah pernikahan Chandragupta
dan Helena, putri dari Jendral Seleucus Nicator, masuk Dinasti Maurya.
Tapi, musuh di dalam Dinasti Maurya sangat berbahaya dari musuh yang
berasal dari luar kerajaan”, sambil menampilkan prosesi pemberian restu
setelah pernikahan dari ayah mempelai wanita, pertempuran dalam
kerajaan.
“Tapi, ada firasat bahwa sesuatu akan
segera terjadi, tapi kapan, bagaimana dan dimana, adalah sesuatu yang
tidak bisa diketahui”, dengan menampilan singa yang mengaum dan seorang
Brahma yang sedang membuat catatan.
Pintu gerbang istana terbuka. Brahma
melangkah masuk. Menatap ke singgasana kerajaan yang kosong. Ia
melangkah mendekat, melewati karpet menuju singgasana yang hanya
berpenerang lilin yang berjejer. Di depan singgasana, tertegun,
mendengar auman singa. Matanya semakin awas melihat singgasana.
Tiba-tiba muncul seekor singa yang menatapnya tajam, mengaum, dan
melompat ke arahnya.
Brahma terbangun dari tidurnya, di salah
satu ruang di padepakannya, ia terduduk. Kertas-kertas yang ditulis
sebelumnya, terbuka lembar demi lembar seperti ingin berterbangan ditiup
angin. Brahma berdiri, menutup tumpukan buku tersebut dengan tangannya,
sambil terus terpana. Salah satu dari muridnya masuk, “Ada apa Acahya”.
Si Brahma yang ternyata adalah Acahya
Chanakya menjawab, “Aku telah bermimpi, *membayangkan mimpi sebelumnya*,
Aku melihat Yang Mulia Chandragupta dalam bentuk seekor singa”. Yang
bertanya tercenung. Chanakya bergegas ke teras padepokannya melihat ke
arah istana kerajaan yang dapat dilihat dari ketinggian tempatnya
berdiri.
Si murid yang tadi tercenung, bergegas
menyusul ke teras, “Itu artinya, itu sebuah tanda ada bahaya di Magadh”.
Chanakya tanpa melepaskan pandangan, berkata, “Hanya waktu yang akan
mengungkap itu Ranakhunta. Akan tetapi restu Amatya Ugrasena,,, Dalam
mimpiku Yang Mulia Chandragupta berusaha memberi petunjuk sebuah
kejadian penting yang akan terjadi dimasa depan”.
“Raja Magadh saat ini, Bindusara tidak
menyadari adanya bahaya di Champanagha, disana sebuah pertandingan yang
diatur oleh Tuan Khorasan akan segera dimulai. Dalam pertandingan itu,
Bindusara dan saudaranya Justin dan juga ibunya Helena yang juga istri
mendiang Raja Chandragupta. Istri dari Raja Bindusara, Ratu Charumitra
dan juga Amatya Ugrasena, yang mengendalikan pertandingan ini untuk
rencana yang akan dilaksanakan. Ratu Charumitra terlihat cemas”.
Pertandingan pun dimulai.
Raja Bindusara, Justin, dan peserta
pertandingan lainnya, memacu kuda mereka saling adu cepat. Mereka menuju
ke satu titik, sebuah target yang digeletakkan ditengah lapangan, yang
harus diambil dari atas kuda, mereka adu cepat mengambilnya. Bindusara
dan Justin sudah sama-sam membungkuk dari atas kuda mereka
masing-masing. Bindusara berhasil meraihnya, mengangkatnya ting-tinggi.
Helena yang menyaksikan itu tertawa.
Khorasan terlihat gusar. Ratu Chrumitra yang memangku putranya,
tersenyum. Putra Khorasan ikut tersenyum. Bindusara memacu kudanya
dengan cepat sambil membawa target yang sudah di dapatnya menuju bendera
tanda berakhirnya pertandingan. Tapi peserta yang lain mengikuti dengan
kuda yang dipacu kencang juga. Mereka masih punya kesempatan untuk
merebut.
Charumitra bicara pada anak
dipangkuannya, “Kau lihat itu, Nak.Tidak mungkin di dunia ini ada orang
yang bisa mengalahkan ayahmu”. Justin memacu kudanya, mengejar
Bindusara, meraih target yang dipegang Bindusara. Mereka saling tarik.
Justin berhasil mengambilnya. Ia berteriak, memacu kudanya semakin
cepat. Yang menonton pertandingan terkesiap.
Seorang penunggang kuda memasuki arena.
Ia memacu kudanya dengan cepat. Menerobos diantara kuda-kuda peserta
lain, merangsek terus ke depan, maju diantara kuda Justin dan Bindusara.
Merebut target pertandingan yang dipegang Justin. Justin terkejut,
melihat ke penunggang yang coba menggagalkannya, wajah si penunggang
tertutup cadar, dari matanya terlihat kalau si penunggang adalah seorang
perempuan.
Justin dan perempuan penunggang kuda
saling berebut. Si perempuan menyentakkan tangannya, target lomba
berpindah ke tangannya. Raja Khorasan tersenyum. Charumitra dan Helena
melihat pertandingan dengan serius. Si penunggang kuda bercadar memacu
kudanya lebih cepat, menuju bendera akhir pertandingan yang sudah dekat.
Bindusara memacu kudanya, meraih target
ditangan penunggang bercadar. Mereka saling rebut. Si penunggang melihat
ke arah Bindusara, mata cantiknya menatap tajam. Bindusara tak
terpengaruh, justru semakin fokus dengan bendera tanda akhir
pertandingan. Yang menonton menunjukkan wajah tegang. Bindusara dan
penunggang kuda perempuan saling mempertahankan pegangan mereka pada
target pertandingan. Bindusara menyentakkan tangannya dengan kuat,
target berpindah ke tangannya, memacu kudanya menuju bendera akhir .
Si penunggang bercadar menggelengkan kepalanya kaget, cadarnya terlepas,
menatap Bindusara. Bindusara mengangkat target perlombaan
tinggi-tinggi. Helena, Charumitra tersenyum. Raja Khorasan juga
tersenyum. Justin melihat ke penunggang perempuan cantik di sebelahnya.
Mata si penunggang terus melihat ke arah Bindusara, ia membuka sorban
yang menutup kepalanya, rambut panjangnya tergerai. Justin terpana.
Bindusara membawa target pertandingan ke
panggung penonton. Si penunggang cantik menatapnya. Helena berdiri,
Charumitra menyerahkan putranya pada pelayan, ikut berdiri. Bindusara
menaroh target pertandingan di kaki Helena, kemudian berdiri. Helena
tersenyum. Justin melirik penunggang cantik yang terlihat menarik nafas
dalam menatap Bindusara di panggung.
Justin bersuara, dari tempatnya berdiri,
“Adikku, aku merasa senang sekali kau menang, kalau tidak, rasanya tidak
pantas bagi Raja Magadh dan juga keturunan Maurya kalah dari seorang
wanita cantik”. Bindusara yang menoleh, tersenyum tipis. Ia bukan
melihat ke Justin, tapi ke penunggang cantik yang menatapnya, melirik
penuh arti.
Helena berkata, “Aku bangga, karena kau
memperlakukanku seperti ibumu sendiri Bindusara”. Bindusara menjawab
tenang, “Aku merasa sangat beruntung karena mendengarku pantas untuk
mendapat perhatian dan kasih sayang ibu. Setelah kematian ibuku yang
terlalu cepat, kaulah yang membuatku tidak merasakan kepergiannya dengan
kasih sayang ibu padaku. Dan karena alasan itulah aku sama sekali tidak
ada keraguan untuk mengorbankan nyawaku untukmu ibu”. Justrin ikut
tersenyum mendengarnya. Si penunggang cantik, masih menarik nafas
dalam. Helena berkata, “Kalau begitu, maka aku, sudah bisa memenuhi
tugasku sebagai seorang ibu”. Charumitra tersenyum. Bindusara tersenyum.
Khorasan datang memberi selamat pada
Bindusara. Khorasan berbicara pada hadirin, “Hari ini, ditempat kalian
semua, aku Khorasan mengumumkan, bahwa pasukanku, persenjataanku, dan
kekayaanku semuanya, juga kesejahteraanku, juga putri tersayangku,
*Tunjuk penunggang cantik*, Putri Noor yang kusayangi, kini jadi milik
Raja dari Magadh, Bindusara”.
Charumitra terlihat terkejut dengan
pengumuman itu. Justin juga terlihat kaget. Helena tetap menunjukkan
senyumnya. Rakyat bersuara kompak, “Hidup Raja Bindusara! Hidup!, Hidup
Raja Bindusara! Hidup!”. Bindusara tersenyum, tertunduk. Justin melirik
ke Putri Noor yang masih berdiri disebelahnya yang masih terus menatap
Bindusara.
Kakaknya Noor, menghampiri Noor, “Luar
biasa, aku tidak pernah membayangkan kalau kau akan menjadi Ratu untuk
Magadh”. Noor menjawab cepat, “Bukan Ratu saudaraku. Tapi Yang Mulia
Ratu Noor Maurya, aku bukan hanya jadi Ratu bagi kerajaannya saja, tapi
juga Ratu dihati Raja Bindusara”. Justin terlihat sangat kesal.
Kakak laki-lakinya Noor mengajak Noor
untuk naik ke panggung. Raja Khorasan menghampiri putrinya, menaroh
tangannya di kepala putri kesayangannya, “Selamat Noor. Kuucapkan
selamat dari hatiku”. Helena tersenyum melihatnya. Charumitra menahan
kesedihannya. Helena berkata padanya, “Noor Khorasan sangat cantik, tapi
itu bukannya satu-satunya alasan kenapa Bindusara menyetujui penyatuan
ini. Penyatuan ini menguntungkan bagi Kerajaan Magadh, daerah paling
tangguh dari 500 daerah lainnya. Akan memberikan kekayaan, dan
pasukannya untuk Magadh. Yang aku katakan memang benarkan Amatya
Ugrasena”.
Amatya menjawab, “Kau memang benar.
Seorang Raja, bisa mempunyai banyak permaisuri, tapi hanya satu saja
yang cukup beruntung untuk menjadi Ratu Utama danibu dari pewarisnya.
Jadi tidak diragukan lagi, Yang Mulia Ratu Charumitra kau sangat
beruntung sekali, karena kau adalah ibu dari anak tertua Raja Bindusara,
yaitu Pangeran Sushima. Kau beruntung sekali”. Amitya mengucapkan semua
kata-katanya dengan tersenyum. Charumitra mendengarkan dengan dada
sesak.
Komando dukungan terus terdengar, “Hidup
Raja Bindusara! Hidup! Hidup Raja Bindusara! Hidup!”. Bindusara
mengangkat tangannya tinggi-tinggi pada rakyat yang menyuarakan
dukungannya.
Chanakya menutup plakat yang baru
dibacanya dengan wajah tegang. Ranakhunta bertanya, “Ada apa Acahya”.
Chanakya memberitau, “Seorang anggota dari keluarga Khorasan, sekarang
akan menjadi bagian dari Kerajaan Maurya”. Ranakhunta bingung, “Artinya,
Raja Bindusara akan melakukan upacara suci”.
Chanakya memberi isyarat iya lewat
matanya, “Khorasan telah memutuskan memberikan pasukannya,
persenjataanya, harta istananya, dan juga putrinya untuk nikah dengan
Bindusara”. Ranakhunta menyimpulkan, “Itu kan menguntungkan untuk
Kerajaan Magadh. Khorasan itu, adalah negara yang makmur dan pasukannya
juga bersenjata lengkap. Jadi, kalau Magadh,,”.
Chanakya memotong ucapan Ranakhunta,
“Cobalah untuk melihat hal yang tersembunyi lain Ranakhunta. Khorasan,
adalah orang yang jahat, dia ingin mengambil alih Kerajaan Magadh. Dia
mau mengambil alih Kerajaan Magadh dengan menggunakan putrinya sebagai
pionnya”. Ranakhunta tercenung. Chanakya memegang tangan
dibelakangpunggungnya, mengenang, “Pertama adalah Bangsa Yunani, dan
sekarang Bangsa Persia”. Biksu lain mendengar serius.
Chanakya masih bicara, “Jika pernikahan
ini sampai terjadi, maka Khorasan, akan bisa menguasai pasukan
Bindusara, hartanya dan juga tahtanya”.
Di istana, Bindusara menuju kuda dan
pasukan yang sudah menunggunya. Dari teras atas istana, Helena, Justin
dan Amatya memperhatikan. Helena bicara pada putranya, “Raja Bindusara
ingin pergi untuk berburu. Pergilah Justin, bantulah dia untuk
melaksanakan tugas-tugas kerajaannya”. Justin tersenyum. Helena menoleh
ke sebelah kanannya, “Amatya Ugrasena, Raja Bindusara tidak boleh
manghadapi masalah saat dia berburu nanti”. Amatya tersenyum, “Jangan
khawatir ibu Ratu. Semua kebutuhan Raja harus dipenuhi, dia tidak akan
mengalami kesulitan”. Helena tersenyum.
Raja Bindusara sudah diatas kuda,
mengangkat tangannya tanda pasukan harus bergerak. Pasukan bergerak
menuju gerbang. Di gerbang, rombongan Brahma berdiri melihat Raja mau
berangkat berburu. Justin dari teras atas istana melihat keberadaan
rombongan kaum Brahma itu, ia bergumam, “Acahya Chanakya”.
Raja sesampainya digerbang, langsung
turun dari kudanya, melangkah kehadapan Brahma dan memberi salam, “Salam
Acahya. Harusnya kau mengirim pesan saja. Kau berangkat waktu itu, saat
aku melakukan perburuan”. Chanakya menjawab, “Musuh ada dimana-mana
Yang Mulia”. Kakaknya Noor, Putra Khorasan yang berada diatas kuda,
menunjukkan wajah terkejut. Chanakya masih bicara, “Ada masalah
dimana-mana pada saat ini, bukan hanya kau Yang Mulia, tapi ada orang
lain yang menunggumu”. Raja bingung, “Maksudmu?”.
Chanakya menjelaskan, “Tujuannya adalah
mengambil alih Kerjaan”. Bindusara menjawab kekhawatiran Chanakya, “Itu
mungkin bisa dilakukan saat nyawaku melayang. Tapi sebenarnya aku senang
mengetahui bahwa aku punya musuh yang ingin melenyapkan aku. Tapi
permusuhan itu adalah juga sebuah bukti, bahwa aku sudah menjadi Raja,
yang dicintai rakyatku, *Putra Khorasan tersenyum diatas kudanya*, Bahwa
aku sudah memenuhi semua tanggung jawabku. Aku mohon jangan khawatir.
Kerajaan Magadh sangat membutuhkan aku sekarang, tidak akan terjadi
apa-apa padaku”. Justin dan Helena masih melihat percakapan itu dari
tempatnya berdiri.
Raja Bindusara memberi sikap salam pada
Chanakya, “Istirahatlah di dalam istana. Aku akan kembali berburu, dan
menemuimu lagi nanti. Salam Acahya”. Raja membalikkan badan dan menaiki
kudanya. Acahya dan rombongannya hanya bisa berdiri terpana melihat
keyakinan Bindusara yang mengatakan tidak akan terjadi apa-apa padanya.
Raja Bindusara dan rombongan sudah sampai
dihutan tempatnya berburu, di dekat sungai yang ada jeramnya. Raja
mendengar sesuatu, merekan berhenti, ia minum dulu, mempertajam
pendengarannya. Pelayan menyodorkan segelas minuman lagi, yang langsung
diminum sampai tuntas.
Raja turun dari kudanya, memberi isyarat
dengan mengangkat tangannya agar tenang. Raja mengambil anak panah yang
tergantung di punggungnya. Mempersiapkan busur, konsentrasi pada buruan.
Ia melihat seekor babi hutan, melangkah mengendap. Babi hutannya
bergerak cepat, lolos dari panah Bindusara.
Raja Bindusara kembali mengikuti
pergerakan hewan buruannya, mendapatkan posisi yang bagus, melepaskan
anak panah dari busurnya, kena sasaran. Raja tersenyum. Prajurit yang
ikut dengannya tersenyum juga. Bindusara memperlihatkan kebanggannya
dengan menaroh sebelah kaki diatas buruannya yang terkapar, bicara pada
prajuritnya, “pernikahanku akan segera dilaksanakan. Aku akan merayakan
acaranya, dengan memakan hasil buruan ini”, sambil mengangkat tangan
tinggi-tinggi.
Ada anak panah yang melesat dari tempat
tersembunyi, mengenai dada Bindusara, mahkota kebesarannya terlepas dari
kepala. Putra Khorasan terbelalak melihatnya. Para prajurit yang
sebelumnya berdiri melingkar melihat ke arah Raja saat bicara,
membalikkan badan, melihat ke arah datangnya panah. Malang anak-anak
panah berikutnya datang melesat, mengenai sebagian dari mereka. Putra
Khorasan semakin terbelalak.
Beberapa orang berpakaian hitam,
berpenutup kepala, muncul dari balik semak-semak dan dari atas pohon,
mereka menyerang prajurit yang tak siap. Putra Khorasan berteriak,
meminta Raja Bindusara untuk berlindung. Tapi dia sendiri tak awas
dengan anak panah yang datang berikutnya. mengenai dadanya sendiri. Raja
Bindusara perlahan mundur. Ia berjalan menyebrangi batuan sungai, yang
ada jeramnya, dengan anak panah masih menancap di dada.
Raja Bindusara kehilangan keseimbangan,
ia terjatuh, terbawa jeram sungai yang lumayan tinggi dan deras.
Pemanahnya yang mengejar, melihat Bindusara terjatuh ke dalam derasnya
jeram air. Setelah memastikan Bindusara takkan selamat, ia membuka
bagian penutup kepala yang menutup wajahnya, melongok ke bawah air
terjun yang menyeret Bindusara.
Tak jauh dari situ, di hutan yang
ditumbuhi bunga-bunga, beberapa orang gadis sedang tertawa-tawa melihat
kupu-kupu yang berterbangan, ditingkahi cicit suara burung. Mereka
membawa keranjang yang berisi bunga. Betapa terkejutnya mereka saat
melihat prajurit yang bergeletakan. Keranjang mereka terjatuh dari
tangan. Bunganya berserakan.
Salah satu dari gadis itu berteriak,
“Subandrani!”. Gunung seperti memantulkan teriakan gadis yang memanggil
nama seseorang tersebut. Burung-burung dan hewan ternak terkejut. Yang
namanya dipanggil, berlari dengan cepat keluar pondoknya, menyebrangi
sungai, menuju hutan tempat namanya dipanggil. Gadis cantik bertubuh
langsing dan berambut panjang itu, sampai di dekat teman-temannya.
Matanya langsung terbelalak melihat prajurit yang bergelimpangan dihutan
tersebut.
Gadis berambut panjang itu lalu bicara,
“Baik Yang Kuasa maupun iblis, ada di dalam setiap manusia. Egoislah
yang memisahkan mereka. Dia yang mendapatkan kemenangan karena
keegoisannya, juga bisa menjadi penguasa. Dan dia yang kalah karena itu
akan menjadi iblis. Jalan yang termudah untuk membuat seseorang
kehilangan egoismenya adalah dengan memberikan senjata padanya”.
Si gadis melihat salah satu dari
tubuh-tubuh yang tergolek berlumuran darah itu ada yang bergerak dengan
tangan menggapai. Ia langsung jongkok di sampingnya, berteriak pada
temannya untuk cepat diambilkan air. Baru selesai dia menyuruh temannya,
tubuh si prajurit sudah kaku.
Si gadis berambut panjang melihat tetesan
darah yang menjauh dari lokasi, ia dan teman-temannya mengikuti tetesan
darah tersebut, yang ternyata membawa mereka ke pinggir sungai yang
berbatu, menuju ke dekat tebing yang ada jeramnya. Disan, tetesan darah
itu terhenti, bahkan ada bekas telapak tangan, yang menandakan orang
yang terluka tersebut, sempat menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Si
gadis menutup mulutnya, membayangkan apa yang dialami orang yang sudah
terluka tersebut. Si gadis berambut panjang, melihat ke arah air terjun
bagian bawah. Matanya terpana saat melihat ke kejauahan.
Matahari sudah mulai condong, saat Helena
dan Justin yang berdiri di teras atas istana melihat dari kejauhan,
seseorang memacu kudanya dengan cepat, menuju istana. Semakina dekat,
semakin jelas kalau si pemacu kuda adalah si pemanah Bindusara.
Si penunggang sudah memasuki gerbang
istana, berhenti di depan Amatya yang sudah berdiri menunggu. Helena dan
Justin mengamati dari teras atas. Si penunggang turun dari kudanya,
menyerahkan apa yang dibawanya, mahkota kebesaran dan pedang Raja, ke
tangan Amatya. Amatya langsung membawanya ke dalam istana.
Amatya menaiki tangga istana menuju
tempat Helena dan Justin yang sedang menunggu dengan wajah cemas. Amatya
menyodorkan mahkota Raja ke tangan Helena. Helena dengan wajah tegang
menerima dan melihatnya, “Darah, pedang, aku tidak meminta semua ini”.
Helena mengangkat mahkota dan pedang di terpaan sinar matahari sore, ia
berkata geram, “Tetapi aku meminta kepala Bindusara”. Helena menunjukkan
wajah dingin.
Di hutan, tepi sungai, Subadrani dibantu
teman-temannya, menuju ke tempat mereka melihat sesosok tubuh yang
tersangkut di bebatuan pinggir sungai.
Di istana, Amatya bicara, “Ma’afkan aku
Yang Mulia Ratu. Kami tidak punya banyak waktu. Kalau prajurit kita ada
disana lebih lama, mereka pasti akan ketahuan. Tenang saja ibu Ratu, aku
bisa memastikannya padamu, bahwa tidak akan mungkin Raja Bindusara bisa
terselamati”.
Di pinggir sungai, gadis berambut panjang
terus mencoba menyelamatkan laki-laki yang kena panah dan terjatuh ke
jeram sungai. Mereka sudah menaroh si lelaki diatas batu dipinggir
sungai tersebut. Si gadis meminta salah satu temannya untuk mengambilkan
obat, yang dua orang menggosok kaki dan satunya menggosok tangan
sebelahnya. Sementara ia sendiri menggosok telapak tangan di bagian dada
yang terluka.
Di istana, Helena berkata pada Justin,
“Chanakya, tidak akan membiarkanmu menjadi seorang Raja. Bindusara, kini
telah membayarnya dengan hidupnya. Berita tentang kematian Taja
Bindusara, harus tersebar sampai ke ujung Magadh. Musuh-musuh kita sudah
pasti tidak sabar. Mereka sudah lama menunggu kemerdekaannya. Aku
pastikan saat ini, Magadh tidak punya Raja untuk mengendalikan mereka.
Biarkan saja mereka memberontak, biarlah terjadi ketakutan diantara
rakyat. Biarlah waktu yang terbakar”. Justin mendengar semuanya dengan
seksama.
Setelah itu, terlihat api dimana-mana dan
suara teriakan, “Kebakaran, Kebakaran”. Teriakan minta tolong
diambilkan air. Rakyat yang berlarian kesana kemari. Ada teriakan dari
seorang pemimpin yang menyampaikan pesan bahwa setelah kematian Raja
Bindusara, dia menyatakan bahwa daerah tersebut bebas, dan dia juga
menyatakan bahwa ia adalah penguasa baru disitu. I adalah Neerbadra.
Rakyat mengelukan namanya.
Di padepokannya, Chanakya tercenung
dengan wajah gundah. Salah satu dari temannya mengingatkan kalau tidak
ada yang menangani kekacauan ini, semuanya akan hancur. Yang lain juga
mengatakan kalau seluruh bangsa akan terpecah-pecah menjadi musuh. Yang
lain menimpali, “Lalu siapa yang bisa mencegah semua itu terjadi”.
Chanakya menoleh, berlari ke teras padepokannya, ia melihat api sudah
berkobar dimana-mana. Sementara di kejuahan, istana berdiri dalam diam.
Chanakya kembali melihat singa seperti
berdiri di atas bebatauan yang tinggi, mengaum. Chanakya tanpa menoleh
ke teman-temannya yang sudah berdiri dibelakangnya, bicara, “Siapakah
yang punya kecerdasan untuk melakukkannya. Seseorang telah menyebarkan
kekacaauan ini di Magadh, dia pasti rang yang sangat cerdas. Aku tidak
akan pernah membiarkan Raja Mahgadh menderita karena ketidak adilan”.
Justin dan Helena baru turun dari kuda, membuka jubah penutup tubuh mereka yang berwarna hitam.
Chanakya di padepokannya masih berdiri di teras dan masih bicara, “Orang yang melakukan ini pasti musuh Magadh”.
Seorang Raja tersenyum melihat siapa yang
datang menemuinya. Ia langsung bangkit dari kursi kebesarannya,
“Kemarilah Helena, Justin”. Helena datang mendekat, “Ayah, aku rasa ini
saatnya untuk menyerang Pataliputra, apakah kau sudah siap?”.
Ayah Helena, Nicator menjawab, “Sudah
bertahun-tahun aku mengalami kekalahan di tanah Chadragupta Maurya, aku
menderita karena rasa malu itu dalam setiap hidupku. Itu bukan hanya
sebuah kekalahan bagiku, tapi bagi seluruh Pasedonia, dan ini adalah
sebuah arti, dan sampai saat ini aku tidak melakukan hal yang lain. Aku
hanya melakukan persiapan untuk bisa menguasai Kerajaan Magadh
selamanya, *Justin menundukkan kepalanya*, Itulah yang aku lakukan,
dengan berbagai cara, bagaimanapun juga, aku harus bisa menguasai
Kerajaan Magadh dan itu adalah janjiku”.
Helena dan Justin mendengar dengan wajah
serius. Nicator bertanya, “Katakan, kapan kita siap untuk berperang”.
Helena menjawab, “Yang aku inginkan adalah, Justin harus bisa menjadi
penguasa tahtanya, dia akan kirim pasukan untuk menguasai para
pemberontak di Utara dan para Menteri di Pengadilan segera akan dibunuh,
itu akan menandakan akhir dari Kerajaan Maurya, dan Magadh pasti akan
menjadi milik kita”.
Nicator merespon, “Aku bangga dengan
strategi mu itu. Impianku tidak akan pernah sampai sedekat ini, kalau
bukan karena putriku. Dan kau telah membuktikan hal itu anakku”. Helena
yang tertunduk mendengar pujian ayahnya, mengangkat kepala. Nicator
melihat ke arah Justin, “Aku juga bisa melihat, kau telah mempersiapkan
anakmu, yang itu hanya untuk masa depanmu yang cemerlang nanti”. Helena
tersenyum. Justin ikut bicara, “Aku selalu belajar sesuatu yang baru
setiap harinya”. Nicator berpesan, “Ingatlah ini Justin, bahwa kau
adalah masa depan, untuk Kerajaan Seleucus”. Justin tersenyum, “Begitu
juga dengan Noor Khorasan”.
Noor Khorasan menangis melihat jasad
saudaranya yang sudah terbujur kaku. Ayahnya bersedih melihat putranya
terbaring kaku. Pasukan yang sedang berjaga melakukan gerakan. Keluarga
dan Khorasan yang sedang berkabung menoleh ke arah gerbang, di kejauhan
ia melihat Chanakya. Khorasan memberikan tanda pada prajuritnya untuk
menuerunkan senjata, membiarkan tamu itu lewat.
Chanakya melangkah mendekat. Khorasan
menemuinya. Chanakya dan Ranakunta memberika sikap hormat. Chanakya
bicara, “Aku disini menyatakan turut berduka. Dan aku hanya bisa
membayangkan apa yang kau rasakan dengan kematian putramu yang terlalu
cepat ini”. Khorasan menjawab, “Chanakya, setip jiwa di Magadh pun tau
bahwa kau tidak pernah suka kepadaku”.
Chanakya berkata tenang, “Itu memang
benar Khorasan. Tapi benar juga, bahwa setelah kematian putramu yang
malang ini, baik Magadh maupun, dirimu sendiri, *tunjuk Khorasa*, punya
musuh yang sama. Dan untuk mengalahkan musush itu, magadh butuh
dukunganmu, *beri sikap salam*, Sama, seperti kau membutuhkan Magadh
untuk bisa membalaskan dendam darimu, putramu”. Khorasan tak mengerti,
“Maksudmu siapa”.
Chanakya memberitau, “Tidakkah kau
merasakan, ada nuansa Yunani dalam konspirasi ini”. Noor yang mendegar
dari tempatnya berdiri, mulai tertunduk. Khorasan bertanya cepat,
“Bagaimana kau merasa yakin”. Chanakya berkata, “Bukankah sudah jelas
Khorasan. Ayo Khorasan kita bersatu, dan habisi semua musuh kita diluar
sana dan bawa kembali Kerajaan Bindusara yang telah dihancurkan”.
Khorasan merespon, “Sadarlah Chanakya,
semua orang sudah tau, bahwa Raja Bindusara sudah tidak ada lagi”. Noor
dadanya terlihat sesak. Chanakya menjawab tegas, “Khorasan, sebelum aku
melihat sendiri jasad dari Raja Bindusara, maka aku akan tetap
menganggapnya masih hidup”. Khorasan tertunduk. Chanakya terus bicara,
“Khorasan, mari kita cari Yang Mulia Raja Bindusara. Aku tidak bisa
percaya siapapun, kecuali kepadamu untuk tugas yang satu ini. Jadi,
satu-satunya cara untuk membuat masa depan putrimu tetap aman dan juga
baik, datangnya Raja Bindusara”.
Di istana. Amatya bicara, “Hanya
kedatangan Raja Bindusara saja yang membuat masa depan putrimu tetap
aman dan juga baik. Ini benar-benar sebuah kemalangan. Kabar duka yang
dibawa Raja Bindusara, pemberontakan sudah menyebar keseluruh daerah
Magadh. Seluruh Kerajaan melakukan protes. *Justin lirik Helena*. Negara
menjadi tidak aman dan lemah ibu Ratu. Daerah Kerajaan yang sangat luas
ini yang dimiliki Dinasti Maurya pun akan hancur, kalau tidak diakhiri.
Ini akan menjadi aib yang sangat memalukan bagi Ratu Charumitra dan
Raja Bindusara”. Charumitra mendengarkan dengan wajah mengernyit. Justin
mendengar dengan wajah seperti serius.
Amatya masih bicara, “Tapi hanya ada satu
cara untuk bisa mengendalikan keadaan ini. *anggota sidang serius*.
Yaitu dengan memilih Raja yang baru, yang akan mengambil alih tanah
Magadh”. Justin serius, Charumitra berwajah mendung. Helena melirik ke
singgasana yang kosong.
Di pinggir sungai, Para gadis masih
berusaha membuat lelaki yang mereka tolong sadarkan diri, Gadis berambut
panjang dan teman-tamannya setelah memberi obat, menggosok tangan dan
telapak kaki lelaki tersebut.
Di sidang istana, Helena ikut bicara,
“Tidak perlu diperdebatkan lebih lanjut, buatlah pengaturan untuk
penobatan Pangeran Sushima”. Charumitra yang memangku putranya terkejut.
Justin menoleh ke arah Helena. Amatya memainkan perannya, “Ma’afkan aku
ibu Ratu. Apakah ibu Ratu berfikir, Magadh hanya butuh seorang bocah
saja untuk mengatasi keadaannya. Pangeran Sushima masih terlalu kecil,
umurnya saja, baru 1 tahun, dia belum bisa berbicara, bagaimana dia bisa
mengatur Magadh”.
KELANJUTANNYA KLIK DIBAWAH INI