Di sebuah desa tempat tinggal Pratap, saat itu Pratap sedang makan ladu bareng Chakrapani, sahabatnya “Chakrapani, apakah kamu jadi pergi menemui ibuku ?” tanya Pratap penasaran “Iya, tentu saja ,,, ibumu ingin tahu tentang keadaanmu, Pratap ,,, ibu juga kelihatannya sangat lemah saat ini” ujar Chakrapani
Di istana Mewar,
Ratu Jaiwanta sedang menyiapkan piring aarti untuk melakukan
persembahan pada Dewa, saat itu para pelayan sedang menemani Ratu
Jaiwanta termasuk pelayan setia Ratu Jaiwanta, Girija “Maharani
Jaiwanta, seorang ibu pada umumnya mendoakan untuk ketenaran anak anak
mereka, tapi kamu ini satu satunya ibu yang berdoa agar anaknya tidak
terkenal, ada apa kamu ini ?”
pelayan setia Ratu Jaiwanta, Girja Dai merasa heran dengan apa yang
dilakukan oleh majikannya ini “Aku hanya ingin anakku hidup dengan
tenang dan aku juga ingin melindungi dia dari konspirasi yang dibuat
oleh Maharani Bhatyani, ketenarannya tidak akan pernah diraih oleh
Maharani Bhatyani, oleh karena itu aku tidak punya pilihan lain selain berdoa untuk kehidupannya sebagai orang biasa” ujar Ratu Jaiwanta sedih
Di rumah
Pratap, Pratap dan Chakrapani masih ngobrol berdua “Chakrapani, apakah
kamu mengatakan pada ibuku tentang harimau yang menyerang desa ini ?”
tanya Pratap “Iya, aku menceritakan semuanya pada Maharani Jaiwanta”
Pratap terkejut “Kamu seharusnya tidak menceritkan hal itu pada ibuku,
saat ini pasti ibuku akan sangat khawatir” ujar Pratap “Dia tidak
mengkhawatirkan soal harimau itu, Pratap ,,, tapi ibumu mengkhawatirkan
soal yang lain” Pratap terkejut “Apa ? Katakan padaku, Chakrapani ,,,
apa yang terjadi ? Apa yang ibuku khawatirkan ? Aku yakin pasti ada
sebuah alasan yang besar dibalik semua ini, dibalik pengasinganku dari
istana” saat itu Chakrapani teringat ucapan Ratu Jaiwanta kalau dirinya
merasa khawatir pada Ratu Bhatyani “Cobalah ingat ingat, Chakrapani ,,,
apa yang ibuku katakan padamu ?” ujar Pratap sambil
mengunjang gunjangkan tubuh Chakrapani “Iya iya aku ingat, ibumu
mengatakan kalau beliau tidak khawatir soal harimau itu tapi ibu
khawatir soal ,,,” belum juga Chakrapani menyelesaikan kalimatnya, tiba
tiba dari arah luar Pratap mendengar derap kuda dan sorakan orang orang
yang mengelukan sebuah nama “Hidup Yang Mulia Raja Jalalludin Muhammad !
Hidup Yang Mulia Raja Jalalludin Muhammad ! Hidup Yang Mulia Raja
Jalalludin Muhammad !”
Pratap
merasa penasaran dengan apa yang terjadi diluar sana.
Saat itu Bhairam Khan dan pasukan kecilnya sedang melewati rumah Pratap,
pasukannya mengelu elukan nama Jalal, Pratap dan Chakrapani segera
keluar rumah untuk melihat ada apakah gerangan diluar sana, dilihat bendera Mughal berkibar kibar di bawa oleh segerombol pasukan “Kabarnya sebagian raja raja telah menyerahkan kerajaan mereka ke Mughal,
Pratap” ujar Chakrapani “Mereka mungkin bisa memilikinya tapi tidak
dengan Rajputana, ayahku pasti tidak akan pernah mengijinkan Mughal memasuki ruang sidangnya !” ujar Pratap optimis
Di
benteng Chittor, Ravatji berusaha membujuk Maharaja Udai Singh untuk
menyambut Bhairam Khan yang sebentar lagi akan datang ke benteng
Chittor, saat itu Maharaja Udai Singh menolaknya tapi Ravatji berusaha
meyakinkan rajanya itu “Maharaja, itu akan menjadi pendekatan politik
yang salah pada saat ini kalau kamu tidak menyambutnya, bagaimanapun
juga Bhairam Khan adalah pembimbingnya Jalal dan dia memerintah separuh
dari kekuasaan Jalal” ujar Ravatji “Dia itu bukan raja maka kenapa aku
harus menyambutnya ?” Maharaja Udai Singh tetap bersikeras tidak mau
menerima Bhairam Khan “Mughal sangat berkuasa dan kuat dan tidak ada
alasan bagi kita untuk membuat permusuhan dengan mereka” ujar Ravatji,
Ravatji kemudian mengingatkan Maharaja Udai Singh pada apa yang telah
Jalal lakukan pada Raja Hemu, Ravatji juga mengingatkan Maharaja Udai
Singh kalau dirinya adalah seorang politikus dan tidak seharusnya hal
ini diabaikan begitu saja, Maharaja Udai Singh akhirnya dengan terpaksa
setuju untuk menyambut kedatangan Bhairam Khan, mengingat kunjungan ini
adalah kunjungan persahabatan
Sementara
itu Pratap dan Chakrapani sedang berdiri di atas bukit dan melihat ke
bawah ke benteng Chittor tepat di depan pintu gerbang benteng dimana
pada saat itu Bhairam Khan dan pasukannya sedang menunggu disana diatas
kudanya, tak lama kemudian pintu gerbang benteng terbuka, Ravatji dan
beberapa petinggi Mewar menyambut Bhairam Khan dan mengundangnya untuk
masuk kedalam benteng, Pratap sangat terkejut “Kenapa paman Ravatji mau
menemui dia ? Kenapa dia disuruh masuk ?” ujar Chakrapani heran, saat
itu Pratap sedikit kesal melihatnya, ketika melihat salah satu utusan Mughal
itu diminta untuk masuk menemui ayahnya, Pratap hendak turun kebawah
untuk mencari tahu tapi Chakrapani mencegahnya agar Pratap tidak membuat
masalah, akhirnya Pratap menuruti ucapan Chakrapani dan menunggu orang
itu di luar.
Di ruang sidang kerajaan Mewar, Bhairam Khan memasuki ruang sidang bersama sama dengan Ravatji dan para petinggi Mewar
lainnya, Maharaja Udai Singh menyambut kedatangan Bhairam Khan dengan
tatapan tegang dan tidak bersahabat “Maharaja Udai Singh, seharusnya
kamu datang di pintu gerbang tadi untuk menyambutku tapi itu tidak jadi
masalah, aku pasti akan mendapatkan kesempatan yang lain” ujar Bhairam
Khan “Peraturan protokol kami hanya untuk seorang Raja yang mendapatkan
penyambutan resmi bukan seorang utusan Raja, Bhairam Khan !” ujar
Maharaja Udai Singh sengit “Aku akan menjadi Raja, Maharaja Udai Singh
,,, dan aku yakin kamu pasti akan sangat bersemangat untuk bertemu
denganku nanti, kali ini aku
membawa sebuah pesan dari Yang Mulia Jalalludin Muhammad ! Apakah aku
diijinkan untuk membacanya ?” tanya Bhairam Khan sambil membuka sebuah surat di tangannya “Silahkan anda baca !” ujar Maharaja Udai Singh
Sementara itu Pratap masih bingung karena utusan dari Mughal itu diperbolehkan memasuki benteng ayahnya.
Didalam ruang sidang kerajaan Mewar, Bhairam Khan mulai membaca pesan dari Jalal “Yang Mulia Raja Jalalludin Muhammad sekarang adalah kaisar Mughal,
aku telah mendengar banyak cerita tentang Rajputana dan keberanian yang
kalian miliki, aku sangat berharap
kalau kita tidak pernah bertemu di medan pertempuran karena itu akan sangat disayangkan dengan merusak ras yang sangat mempunyai keberanian yang cukup besar, jadi aku ingin menawarkan sebuah persahabatan ke pada anda, jika anda menerima bendera kami maka anda dan rakyat anda akan aman” begitu isi surat tersebut “Pada intinya kami menginginkan perdamaian dan kami berharap Maharaja Udai Singh juga bisa menerima perdamaian dari kami” ujar Bhairam Khan lagi sambil melipat suratnya “Kami juga mempunyai sebuah pesan untuk rajamu, katakan padanya kalau dia hanyalah seorang anak kecil dan jagalah perangainya ketika berada di sebuah tempat yang terbakar karena bisa bisa nanti tangannyalah yang terbakar, kali ini saatnya untuk dia mendengarkan lagu pengantar tidur” ujar Maharaja Udai Singh dengan nada marah “Ada baiknya kalau kamu bertemu dengan rajaku sekali saja, Maharaja ,,, kami tidak meragukan keberanian kamu tapi janganlah buat kesalahan dengan menganggap Jalal tidak serius, aku yakin kamu tidak ingin bertemu dengannya di medan perang” ujar Bhairam Khan sinis
Maharaja
Udai Singh sangat marah hingga berdiri dan menyebut nama Bhairam Khan
dengan keras “Bairam Khaaaaan !!!!” Bhairam Khan segera mengulurkan
tangannya “Kamu ini cuma seorang utusan, jadi lebih baik kamu pergi dari
sini dan segera kembali ke Delhi !” ujar Maharaja Udai Singh “Aku
memang sedang terburu buru tapi bagaimana bisa aku pergi dengan tangan
kosong ke Delhi jika Jalal menanyakan apa yang aku bawa untuknya maka
aku harus bilang apa ?” ujar Bhairam Khan, kemudian Maharaja Udai Singh
menyuruh Ravatji untuk memberikan
hadiah sepiring koin emas dan beberapa emas batangan, Ravatji segera
menghampiri Bhairam Khan dengan membawa hadiah yang seperti dikatakan
oleh Maharaja Udai Singh namun Bhairam Khan mengejek pemberian Maharaja
Udai Singh “Hadiah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan betapa
pentingnya Maharaja Udai Singh tapi itu tidak menjadi masalah, aku akan
menerimanya sebagai tanda perdamaian” tak lama kemudian Bhairam Khan
meninggalkan ruang sidang kerajaan Mewar dengan perasaan kesal, dalam
perjalanan menuju ke pintu gerbang depan, ucapan Maharaja Udai Singh
masih terngiang ngiang di telinga Bhairam Khan.
Dari
atas bukit Pratap masih memperhatikan mereka dari kejauhan, Pratap
melihat Bhairam Khan keluar dari benteng Chittor sambil membawa sepiring
emas, tiba tiba piring yang berisi emas itu di lemparkan oleh Bhairam
Khan ke atas hingga berhamburan semua emas emasnya terbang di udara,
Bhairam Khan sangat marah dengan perlakuan Maharaja Udai Sing, Pratap
tertegun melihatnya.